Oleh L. Nihwan Sumuranje
Manusia terdiri dari unsur biologis dan ruh. Biologis karena Adam dicitakan Allah Swt bermula dari tanah yang kemudian Allah tiupkan ruh.
Ruh itu pada awalnya suci. Namun, pada proses melakoni kehidupan betapa ruh kita sering terbelenggu unsur biologis. Ruh dipermainkan dan tidak berdaya menghadapi tekanan biologis seperti nafsu akan sandang, pangan dan papan. Nabi Muhammad saw sendiri pernah menyatakan sumber masalah ada di dua lubang, yakni mulut dan farji (kemaluan).
Di antara kasih sayang Allah Swt agar ruh memenangi atau mengendalikan nafsu adalah dengan menegakkan shalat. Shalat adalah media lepasnya ruhani kita dari keterikatan dunia dan segala isinya.
Shalat termasuk bernilai hiburan bagi jiwa kita. Suatu waktu Nabi Saw berpesan kepada Bilal bin Rabah: (Ya Bilal istirahatkan jiwamu dengan shalat).
Shalat juga dinilai sebagai rekreasi jiwa. Jiwa yang letih dibahagiakan dengan shalat. Jiwa yang lelah terbarukan semangatnya melalui shalat.
Sebagian ulama berpendapat, peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw berkenaan dengan sejumlah peristiwa yang dirasa sangat berat oleh Nabi. Di antaranya, wafatnya istri Nabi, Khadijah binti Khuwailid dan meninggalnya Abu Thalib.
Dua orang ini ketika keduanya masih hidup sungguh tak terkirakan memberikan motivasi, tenaga, pikiran dan harta benda untuk perjuangan dakwah Rasulullah Saw.
Nabi Muhammad sangat sedih sehingga tahun itu dinamakan Tahun Kesedihan. Nabi Muhammad sangat terhibur dengan sederet pengalaman selama Isra’ Mi’raj.
Dalam bahasa fiqih, Nabi Saw menerima perintah kewajiban shalat lima waktu. Namun, sebenarnya kasih sayang Allah Swt menjadikan shalat sebagai media untuk langsung menjumpai-Nya.
Gerakan dan bacaan shalat
Gerakan dan bacaan shalat mendidik jiwa kita untuk mengarahkan fokus hidup kita hanya untuk Allah. Asal Allah bersama kita, tidak masalah kita kehilangan apa pun atau siapa pun.
Kehilangan harta benda yang telah lama diperjuangkan, jabatan yang diidam-idamkan dan seterusnya. Sebab jiwa kita sudah merdeka.
Dunia sekadar alat bantu. Bukan tujuan. Karena kita masih terikat dengan dunia biologi, fisika dan kimia, maka hal-hal itu pasti kita butuhkan sebagai media menuju Allah. Tujuan kita Khaliq (Sang Pencipta). Bukan makhluk (harta benda, status sosial dan semodelnya).
Melaksanakan shalat adalah prosesi untuk tetap mengingat Allah Swt.
Setan (karakter negatif) baik dari jin dan manusia sesungguhnya tidak akan menguasai kita, jika kita benar-benar menjadikan Allah sebagai pelabuhan hati dalam setiap tindakan. Allah sebagai pemimpin dalam rujukan untuk bersikap.
Dalam pelaksanaan shalat umpamanya ada bacaan syahadat dalam tasyahud. Kita bersaksi tidak ada Tuhan kecuali Allah. Diantara makna ilah (tuhan) adalah sesuatu yang kita nomorsatukan.
Menomorsatukan Allah sebagai Tuhan berarti kita siap melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Menomorsatukan kehendak Allah di atas kehendak makhluk yang memang punya kehendak bersebrangan dengan kehendak Allah.
Kalau Allah yang kita Tuhankan saat berdagang pasti akan jujur mengatakan barang kualitas C tidak akan dibilang kualitas B, apalagi katagori A. Kalau Allah yang kita Tuhankan dalam berpolitik tentu yang diutamakan adalah tangis dan tawanya rakyat, bukan tangis dan tawanya pribadi, keluarga maupun golongan pengusung.
Kalau Allah yang kita Tuhankan tentu yang benar akan kita katakan benar dan yang salah kita jelaskan salah. Jika tidak, maka kita belum atau tidak menyembah Allah secara benar.
Shalat diawali dengan ucapan “Allahu Akbar” (Allah Mahabesar). Dari satu gerakan ke gerakan yang lainnya juga ditandai dengan takbir. Di antara filosofinya setiap pergantian pekerjaan atau langkah kaki serta ayunan tangan yang kita besarkan adalah ridha Allah. Bukan uang, harta benda, atau apa pun serta siapa pun yang kita besarkan. Semuanya kita kecilkan di hadapan Allah Swt.
Dalam shalat kita tidak berani mengucapkan kata-kata kotor. Dalam shalat kita tidak punya niat untuk sikut kanan-kiri. Seharusnya begitulah di luar shalat kita terapkan kata-kata yang baik saja dan tangan serta kaki, kita gunakan untuk kebaikan dan perbaikan.
Nabi Muhammad Saw pernah menjelaskan, bahwa orang muslim adalah yang dengan lisan dan tangannya memberikan keselamatan. Tidak sebaliknya, menyebabkan kehancuran.
Sehingga, bila kita terapkan nilai-nilai shalat dalam lapangan kehidupan niscaya akan mencegah dari perbuatan keji dan munkar sebagaimana terjelaskan dalam firman-Nya.
Shalat diakhiri ucapan dengan gerakan menengok ke kanan dan ke kiri antara lain mempunyai arti keselamatan dan kedamaian. Filosofinya, sesudah shalat kita berjanji untuk menyelamatkan dan mendamaikan orang-orang yang ada di kanan dan kiri kita.
Misi Rasulullah Saw turun ke bumi adalah misi cinta beliau kepada umatnya. Dalam bahasa Muhammad Iqbal seperti termuat dala syairnya:
Betapa menakjubkan pemandangan di Sidratul Muntaha. Alangkah indahnya atas izin Allah, Nabi Muhammad diperlihatkan gamabaran penghuni surga dan neraka. Sedemikian menakjubkan tanda-tanda kekuasaan Allah yang disaksikan Nabi Muhammad.
Bukan Muhammad Sang Nabi tidak tahu bahwa di bumi tempatnya darah dan air mata. Bukannya tidak paham penduduk bumi saling melempar fitnah, memuja kekuasaan, hobi berbohong, berlomba menimbun kekayaan dan larut dalam hidup penuh kesementaraan serta kepalsuan.
Tetapi di situlah terletak tugas suci untuk menyelamatkan manusia. Cinta tak memedulikan apakah yang dicintai membalas cinta ataukah justru memberikan racun dan kebencian.
Cinta tak tega hati bila manusia terus-menerus dalam kehancuran ruhani dan kebinasaan jasmani sekaligus.
Muhammad Rasulullah menawarakan jalan kemaslahatan dunia-akhirat. Sebegitu agung pelaksanaan shalat sehingga Nabi Muhammad Saw langsung dipanggil oleh Allah Swt untuk menerima shalat.
Dalam shalat diajarkan kesalehan indivudu juga kesalehan sosial. Shalat media untuk membebaskan diri dari kungkungan nafsu negatif menuju pengendalian nafsu yang terarah menuju ridha-Nya. Gerakan shalat sesungguhnya muatan nilai untuk kehidupan kita.
— Penulis adalah penulis buku dan konten kreator Nihwan TV