Dalam pandangan Islam, kemuliaan sejati seseorang tidak diukur dari standar duniawi yang sering dikejar banyak orang. Sejumlah individu kerap mengejar kemuliaan melalui pencapaian jabatan setinggi-tingginya, mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, bahkan dengan melakukan perawatan tubuh dan wajah termahal.
Demikian dikemukakan KH. Imam Budiman, M.Ag (Ketua Umum DPW PUI Jawa Barat) dalam khotbah Jumat di Masjid Raya Al Jabbar, 17 Oktober 2025, bertema “Jangan Lelah Menjadi Orang Baik”.
“Banyak orang yang di tengah-tengah kita yang mengejar kemuliaan di dunia ini dengan cara mengejar jabatan setinggi-tingginya, ada pula yang mengejar kemuliaan dengan cara mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, bahkan ada juga yang mengejar kemuliaan dengan cara melakukan perawatan semahal-mahalnya, perawatan wajahnya, perawatan tubuhnya,” ujarnya.
Namun, pandangan Allah Swt berbeda. Dalam perspektif agama, kemuliaan tidak diukur dari seberapa tinggi jabatan, seberapa banyak harta, maupun seberapa cantik atau tampan penampilan fisik seseorang. Kemuliaan yang hakiki terletak pada nilai-nilai takwa yang ada dalam diri. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah Swt: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Ayat ini menjadi pengingat bahwa ketakwaan, ketaatan dan kesadaran penuh kepada Allah adalah satu-satunya tolok ukur kemuliaan di hadapan Sang Pencipta.
“Dalam pandangan Allah Swt, ketakwaan atau kemuliaan tidak diukur dengan seberapa tinggi jabatan kita, kemuliaan tidak diukur dengan seberapa banyak harta kita, kemuliaan juga tidak diukur dengan seberapa cantik dan tampan wajah kita. Akan tetapi kemuliaaan diukur dengan nilai-nilai takwa yang ada di diri kita. Karenanya Allah Swt berfirman, inna akromakum indallahi atqokum, sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kita adalah siapa yang paling bertakwa, siapa yang paling tinggi nilai takwanya di antara kita, ialah yang paling mulia di sisi Allah Swt,” lanjutnya.
Khatib menggarisbawahi, kemuliaan sejati yang kekal dan abadi tidak pernah dapat diraih melalui tingginya jabatan, melimpahnya harta, kedudukan sosial, atau gelar akademis yang mentereng. Sebaliknya, ketakwaan adalah satu-satunya nilai yang akan mengantarkan hamba-Nya pada kemuliaan hakiki di sisi Allah Swt.
“Sekali lagi tiada kemuliaan, apalagi kemuliaan itu kekal dan abadi. Diraih dengan tingginuya jabatan, diraih dengan banyaknya harta, diraih dengan tingginya kedudukan, panjangnya dan menterengnya title, gelar. Tetapi ketakwaan itulah yang akan bisa mengantarkan padfa kemuliaan sesungguhnya dan kekal di sisi Allah Swt,” tegasnya.
Kebaikan yang diberikan Allah Swt kepada kita, yang meliputi segala aspek keberlangsungan dan kelangsungan hidup di dunia ini adalah nikmat yang tak terhitung, terus mengalir, dan tidak pernah terputus. Kebaikan inilah yang seharusnya menjadi pendorong utama bagi setiap Muslim untuk memelihara perilaku yang baik.
Khatib menyampaikan keyakinan penuh kepada seluruh jemaah Masjid Raya Al-Jabbar bahwa mereka yang hadir untuk salat Jumat adalah orang-orang yang senantiasa berupaya menjaga dan menghadirkan nilai-nilai kebaikan di setiap napas, langkah, dan interaksi mereka, baik saat bepergian maupun saat bertemu dengan siapa pun, sebagai wujud syukur atas limpahan kebaikan dari Allah Swt.
Jemaah shalat Jumat diingatkan akan seruan universal dari Allah SWT yang termaktub dalam Al-Qur’an Surah Al-Qashash ayat 77, yaitu: wa ahsin kamaa aḫsanallâhu ilaika, yang berarti, “dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu”. Ayat mulia ini menekankan prinsip timbal balik yang agung: manusia diwajibkan membalas kebaikan Tuhan dengan berbuat baik kepada makhluk-Nya.
“Jemaah rahimakumullah, yang saat ini hadir di Masjid Al Jabbar untuk melaksanakan salat Jumat berjemaah, saya yakin kita semua, Bapak-bapak sekalian yang hadir, adalah orang-orang yang baik. Orang-orang yang senantiasa berupaya menjaga agar kebaikan itu terus hadir dalam kehidupan kita, mewarnai, dan menemani setiap napas, perjalanan, serta langkah kita. Ke mana pun kita pergi, di mana pun kita berada, bertemu dengan siapa pun, dan bersama dengan siapa pun, saya sungguh yakin bahwa kita semua adalah orang yang senantiasa berupaya menjaga kebaikan agar nilai-nilai kebaikan itu hadir mewarnai kehidupan kita. Saya sangat yakin akan hal tersebut,” ungkapnya.
Namun, jalan untuk terus menebarkan kebaikan di tengah kehidupan tidaklah mudah. Khatib mengingatkan jemaah bahwa di sekitar kita—baik yang dekat maupun yang jauh, terdapat banyak tantangan, rintangan, dan godaan yang berupaya membatalkan niat baik dan menjauhkan kita dari jalur orang-orang yang berbuat baik.
“Namun, sebagai manusia, situasinya berbeda. Lingkungan di sekitar kita, baik yang dekat maupun yang jauh, menyajikan banyak sekali tantangan, rintangan, dan godaan yang dapat menjauhkan kita dari upaya menjadi orang yang baik,” lanjutnya.
Tawaran-tawaran untuk menyimpang dari kebaikan datang dari berbagai arah, baik dari orang terdekat, orang asing, maupun situasi dan kondisi yang secara halus menggoda. Lebih dari itu, sebagai hamba Allah yang beriman dan berusaha menjadi orang baik, umat Islam tidak pernah luput dari gangguan musuh abadi mereka. Setan tidak akan pernah tinggal diam membiarkan manusia terus menyebarkan kebaikan; mereka pasti akan terus menggoda dan menghalang-halangi setiap upaya manusia untuk berbuat kebaikan. Hal ini menuntut setiap individu untuk senantiasa waspada dan teguh dalam menjaga nilai-nilai kebaikan di tengah derasnya godaan dunia.
“Coba renungkan, begitu banyak tawaran yang datang kepada kita agar kita menyimpang dari jalan orang-orang yang baik, agar kita gagal dan urung melakukan kebaikan. Godaan itu bisa datang dari orang terdekat, dari orang yang tidak kita kenal, atau bahkan dari situasi dan keadaan di sekitar kita, dan lain sebagainya,” terangnya.
Terlebih dari itu, tentu kita semua,sebagai manusia, sebagai hamba Allah, sebagai orang beriman, dan sebagai orang-orang yang baik—sadar bahwa setan tidak akan pernah tinggal diam.
“Mereka tidak akan membiarkan kita terus menebarkan kebaikan kepada sebanyak mungkin orang dan manusia. Mereka pasti akan terus menggoda dan menghalang-halangi kita dari perbuatan baik,” imbuhnya.
Syaitan: Musuh Nyata dari Kalangan Jin dan Manusia
Khatib lantas menegaskan gangguan tersebut adalah tugas utama setan. Allah Swt sendiri telah memperingatkan kita di dalam Al-Qur’an: “Janganlah engkau mengikuti langkah-langkah syaitan (wala tattabi’u khutuwatish syaithan), karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kita (innahu lakum ‘aduwwum mubiin).”
“Jika memang itu sudah tugas mereka, tugas setan untuk mengganggu, menggoda, dan menghalang-halangi kita dari kebaikan, maka benarlah apa yang difirmankan oleh Allah Swt di dalam Al-Qur’an bahwa setan adalah musuh yang nyata bagi kita.
Allah berfirman:”Walaa tattabi’uu khutuwaatisy-syaithaan, innahu lakum ‘aduwwum mubiin” (Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu).
Oleh karena itu, janganlah engkau mengikuti langkah-langkah setan, janganlah engkau mengikuti program-program setan, dan janganlah engkau mengikuti proyek-proyek setan. Mengapa? Karena ‘innahu lakum ‘aduwwum mubiin,’ sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kita,” ujarnya.
Persoalannya, seringkali manusia abai dan tidak menyadari bahwa mereka memiliki musuh yang nyata, padahal Allah telah menjelaskannya. Musuh nyata ini syaitan. Ternyata tidak hanya berasal dari kalangan jin, tetapi juga bisa berasal dari kalangan manusia.
Ini berarti, ketika ada sesama manusia yang dengan sengaja menghalang-halangi saudaranya dari jalan Allah, mencegah orang lain berbuat kebaikan, atau menghalangi hadirnya amal saleh, maka pada saat itu ia sedang menjalankan ‘program’, ‘proyek’, atau langkah-langkah (khutuwatish shaitan). Khatib memohon perlindungan agar umat dijauhkan dari karakter dan perbuatan setan tersebut.
“Persoalannya, tugas kita adalah memahami dan mengenali siapa itu setan. Ternyata, setan bisa berasal dari kalangan jin maupun manusia.
Artinya, rahimakumullah, siapa pun di antara kita yang menghalang-halangi saudaranya dari jalan Allah, dari berbuat kebaikan, atau dari amal saleh, maka ia sedang menjalankan khutuwatisy-syaithaan (program-program setan).
Mudah-mudahan kita dijauhkan dari karakter dan pekerjaan setan itu. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah,” ungkapnya.
Persoalan utama yang dihadapi dalam melakukan kebaian adalah banyak manusia yang tidak tahan menghadapi godaan-godaan setan. Meskipun seseorang telah memiliki jabatan tinggi, fasilitas mewah, harta melimpah, dan segala kemudahan dari Allah, banyak yang tetap tidak mampu bertahan ketika setan bekerja secara efektif menggoda diri mereka. Kondisi ini menjadi pengingat bagi setiap Muslim untuk selalu memohon keteguhan hati.
“Memang persoalannya, banyak di antara kita yang tidak tahan dengan godaan-godaan. Padahal, kurang apa? Jabatan sudah tinggi, fasilitas sudah banyak, uang sudah berlimpah, dan kemudahan-kemudahan dari Allah hadir deras kepada kita. Namun, ketika setan bekerja dengan efektif, masih banyak di antara kita yang tidak mampu menahan godaan itu. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah,” ungkapnya.
Apresiasi Allah Swt Terhadap Kebaikan Sekecil Apa Pun dan Zikir Sebagai Benteng dan Penenang Hati
Khatib menekankan Allah Swt tidak akan pernah menyia-nyiakan kebaikan sekecil apa pun yang dilakukan oleh hamba-Nya. Hal ini diperkuat oleh firman Allah dalam Surah Al-Zalzalah ayat 7 dan 8:
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah (biji atom/debu) pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. “Dan sebaliknya,
وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُۥ
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.”
Ayat ini mengajarkan bahwa nilai kebaikan yang kita anggap sepele, sekecil butiran debu tetap tercatat dan sangat berharga di sisi Allah. Contoh kecil kebaikan yang sering luput dari perhatian kita adalah zikir yang diajarkan oleh Rasulullah saw dalam setiap momen kehidupan, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali.
“Allah Swt., insya Allah, tidak akan menyia-nyiakan kebaikan sekecil apa pun yang kita lakukan. Allah berfirman dalam Surah Al-Zalzalah: ‘Famay ya’mal mitsqaala dzarratin khairay-yarah, wa may ya’mal mitsqaala dzarratin syarray-yarah.’ (Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya). Bahkan sekecil sebutir debu kebaikan kita, yang mungkin kita anggap remeh, nilainya akan tercatat dan tidak akan disia-siakan di sisi Allah Swt,” jelasnya.
Khatib mencontohkan doa bangun tidur: “Alhamdulillahil ladzi ahyana ba’da maa amaatana wa ilaihin nusyuur.” Meskipun doa ini mudah dihafal, seringkali kita lalai mengucapkannya. Padahal, zikir tersebut mentransfer energi positif, yaitu sikap syukur terbaik kepada Allah, yang merupakan modal spiritual besar untuk menjalani hari.
“Dalam kehidupan sehari-hari, banyak nilai kebaikan yang kita anggap sepele, padahal itu berharga. Contohnya adalah dzikir yang diajarkan Rasulullah saw. dalam setiap momentum, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi.
Saat bangun tidur, kita sudah dibimbing untuk berdzikir dan berdoa. Doa bangun tidur—Alhamdulillahil-ladzii ahyanaa ba’da maa amaatanaa wa ilaihin-nusyuur—merupakan sikap syukur terbaik, menghadirkan energi positif, spirit, dan modal besar untuk menjalani hari. Sayangnya, banyak di antara kita yang tidak refleks dan luput dari dzikir ini, meskipun anak TK sekalipun hafal. Hal-hal kecil ini, yang merupakan ajaran Baginda Rasulullah saw., sering kali kita anggap sepele dan terabaikan,” ungkapnya.
Semua aktivitas, mulai dari masuk dan keluar kamar mandi, memakai dan melepas pakaian, hingga masuk dan keluar masjid, bahkan naik kendaraan—memiliki doanya masing-masing yang diajarkan Rasulullah SAW. Zikir ini berfungsi sebagai benteng dan cara merawat nilai-nilai kebaikan dalam diri.Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Surah Ar-Ra’d ayat 28:
أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.”
Zikir menjadi penawar utama untuk menenangkan hati di tengah banyaknya godaan setan dari kalangan jin dan manusia, yang senantiasa mengintai, bahkan saat kita sudah berada di dalam masjid.
“Padahal, bukankah setiap aktivitas kita ada doanya? Mulai dari masuk dan keluar kamar mandi, memakai dan melepas pakaian, masuk dan keluar masjid, hingga naik kendaraan, semua ada doanya. zikir-dzikir ini diajarkan agar kita bisa merawat nilai kebaikan dan membangun benteng yang kuat.
Allah berfirman: ‘Alaa bidzikrillaahi tathma’innul quluub’ (Ingatlah, hanya dengan berdzikir kepada Allah hati menjadi tenteram). Godaan setan (dari kalangan jin maupun manusia) sangatlah banyak. Godaan bahkan sudah hadir saat kita keluar masjid, bahkan saat kita duduk di dalam masjid ini. Dengan sering berdzikir, hati kita akan senantiasa tenteram melawan godaan tersebut,” lanjutnya.
Teladan Kebaikan Tanpa Syarat dari Rasulullah saw
Khatib kemudian mengajak jemaah untuk mempelajari teladan tertinggi dari Rasulullah Saw dalam berbuat baik, terutama ketika perbuatan baik dilakukan tanpa adanya alasan timbal balik, bahkan saat disakiti.
Jika biasanya kita berbuat baik kepada orang lain karena mereka telah berbuat baik kepada kita (seperti membalas kiriman makanan atau bantuan), Rasulullah saw mengajarkan tingkat kebaikan yang lebih tinggi. Contoh paling monumental adalah saat Nabi saw berdakwah di Thaif, beliau disakiti, dilempari batu, dan diusir hingga berdarah.
Kemudian ketika Malaikat menawarkan untuk menghancurkan penduduk Thaif dengan melempar gunung kepada mereka, Nabi saw menolaknya. Alih-alih membalas, beliau justru mendoakan, “Aku berharap kelak di antara mereka banyak orang-orang yang bersujud kepada Allah.”
Inilah puncak dari spirit kebaikan yaitu berbuat baik bukan karena sudah dibaiki, tetapi karena meneladani kebaikan Rasulullah dan mengharapkan ridha Allah dan kebaikan akhirat.
Berbuat baik saat kita sedang mendapatkan kebaikan dari Allah adalah sebuah perintah (_’wa ahsin kamaa ahsanallahu ilaika’ _- berbuat baiklah kamu karena Allah telah berbuat baik kepadamu). Sering kali, kita berbuat baik kepada orang lain karena memerlukan alasan, misalnya: kita membalas bantuan karena pernah dibantu, atau memberi karena pernah diberi.
Yang luar biasa, Nabi Muhammad saw. mencontohkan yang sebaliknya. Beliau tetap mendoakan penduduk Thaif meskipun beliau disakiti, dilempari, diusir, dan terluka saat berdakwah. Ketika malaikat menawarkan untuk menghancurkan kaum Thaif dengan gunung, Nabi menolak dan justru berdoa, ‘Kelak, aku berharap di antara mereka banyak orang-orang yang bersujud kepada Allah.’ Inilah spirit kebaikan sejati yang diajarkan oleh Baginda Nabi Rasulullah saw. kepada kita semua,” ucapnya. (Ibnu Arif/KPI UIN Bandung)
Jangan Lelah Berbuat Baik | Khotbah Jumat KH Iman Budiman, M.Ag