Bukan Takut Dosa, Tapi Karena Cinta: Ustadz Taufik Kupas Rahasia Muslim Sejati di Al Jabbar

Kajian Ahad Masjid Raya Al Jabbar Ustadz TaufikMuslim sejati ialah dia yang rela menyerahkan seluruh dirinya, bahkan egonya, karena sejatinya seorang muslim melakukan sesuatu atas dasar rasa cinta, bukan karena rasa takut. Ia telah memahami makna beriman, berislam, dan berihsan.

Demikian disampaikan dosen agama Institut Teknologi Bandung (ITB) Ustadz Muhamad Taufik, S.Pd., M.Ag., saat menyampaikan materi dalam Kajian Ahad (Jihad) di Masjid Raya Al Jabbar, Ahad (12/10/2025).

“Beriman itu berbuah keyakinan. Berislam menjadikan keyakinan itu tampak dalam ketaatan yang indah. Sedangkan berihsan adalah bagaimana cara kita beribadah dengan cara terbaik,” ujar Ustadz Taufik.

Ia menjelaskan, iman sejatinya melahirkan hukum akal atau hukum qalbu, yaitu hukum yang berlandaskan pada keyakinan dan akidah. Menurutnya, seluruh cabang keimanan itu pada akhirnya bermuara pada bidang fikih, sebab dalam beriman seseorang tidak dapat melepaskan diri dari madzhab yang menjadi landasan amalnya.

Dalam kajiannya, Ustadz Taufik juga menegaskan, “Berislam tanpa berihsan itu seperti tubuh tanpa ruh. Seseorang bisa berdiri, ruku, dan sujud, tetapi seolah tidak ada Tuhan di dalamnya. Namun jika Islam dan ihsan bersenyawa, barulah keindahan agama itu terwujud. Ibadah menjadi terus hidup, amal menjadi khulus, dan akhlak kita pun akan memancarkan cahaya. Maka dari itu, Islam mengajarkan untuk melakukan sesuatu atas dasar rasa cinta, bukan atas dasar rasa takut.”

Ia menambahkan, salah satu wujud nyata dari berihsan ialah ketika seorang muslim berupaya menjadikan shalatnya khusyuk. Ia menegaskan, kekhusyukan tidak datang begitu saja, melainkan hasil dari usaha hati yang sadar akan kehadiran Allah.

Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “ٱلَّذِينَ هُمْ فِى صَلَاتِهِمْ خَـٰشِعُونَ” yang artinya, “(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minūn [23]: 2).

Selain itu, seorang muslim juga hendaknya menjauh dari hal-hal yang tidak bermanfaat agar ibadahnya tidak ternoda oleh kelalaian sebagaimana firman Allah, “وَٱلَّذِينَ هُمْ عَنِ ٱللَّغْوِ مُعْرِضُونَ” yang artinya, “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.” (QS. Al-Mu’minūn [23]: 3).

Ia kemudian mengutip sabda Rasulullah ﷺ dalam sebuah hadis, “Anta’budallāha ka’annaka tarāhu, fa in lam takun tarāhu fa innahu yarāka” yang artinya “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak mampu melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

Melalui penjelasan itu, Ustadz Taufik menegaskan, selain mengenal rukun iman dan Islam, setiap muslim juga perlu menanamkan rukun ihsan di dalam hati. Dengan ihsan, seseorang akan beribadah dengan penuh kesadaran dan kekhusyukan, seolah Allah senantiasa menyaksikan setiap amalnya.

Ia juga mengutip pandangan Jalaluddin Ar-Rumi, seorang ulama sufi besar, yang selalu mendorong agar keimanan dan keislaman tumbuh semakin kokoh. Rumi menggambarkan, jika ibadah dilakukan karena cinta, maka ibadah itu akan menjadi seperti candu—bagaikan zat adiktif yang membuat hati merasa hampa bila tidak melakukannya.

“Itulah berihsan,” ujar Ustadz Taufik menutup penjelasannya.

Menutup kajiannya, Ustadz Taufik menjelaskan makna ihsan sebagai puncak kesempurnaan seorang muslim. Ihsan, menurutnya, adalah ketika seluruh kegiatan yang dilakukan semata-mata diniatkan untuk mencari rida Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Melin Nur Salamah/KPI UIN Bandung)

Posted in Berita, Info Al Jabbar, Kajian and tagged , , , , .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *